BLOG IKI

BLOG KULAWARGA PUTRA-WAYAH SAKA SAWARGI MBAH MARWAH LAN MBAH BINEM NGARENGAN KIDUL, PLOSOREJO, KEDUNGGALAR, NGAWI, JAWA TIMUR.

Jumat, 01 Juni 2012

PATULADHAN

Jiwa Besar Buya Hamka Terhadap Lawan Politiknya

Pesan Terakhir Mr. Moh. Yamin dan Soekarno Menjelang Ajal serta Pesan Penting Pramudya Ananta Tur


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).

Rangkaian tulisan berikut adalah penggalan dari perjalanan hidup Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka yang dikisahkan oleh putra kelima beliau, yakni KH. Irfan Hamka di dalam bukunya Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.1

Penggalan ini berkisah tentang kebesaran jiwa dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada lawan-lawan politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan komunis yang diwakili para tokohnya yakni pencetus penggali Pancasila Mr. Moh.Yamin dan Soekarno serta tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Pramudya Ananta Tur; padahal tak jarang demi mempertahankan dan membela keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk penjara, difitnah, disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam menghadapi ujian itu berbuah menjadi hikmah yang luar biasa yang diantaranya terungkap dalam penggalan kisah berikut ini yang insya Allah dapat membuka mata hati siapapun yang membacanya, meresapinya dan menghayatinya untuk menetapi jalan Islam menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat membaca.


Pesan Terakhir Mr. Mohammad Yamin


Masih ada lagi bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya ayahku (Buya Hamka – pen.). Susah kita mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa sebesar ayahku, Hamka.

Dalam tulisan yang kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari penilaian yang subyektif karena aku anak beliau. Kucoba merangkai bagaimana sifat pemaaf yang begitu ikhlas diberikan ayah kepada orang-orang yang membencinya. menzalimi dan memfitnah.

Tahun 1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi, ayah cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945/ dengan dasar negara Pancasila

Untuk kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia ingin negara berdasarkan Pancasila.

Dalam suatu acara persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya menyampaikan isi pidatonya:

"Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka … "

Tentu saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan ayah. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut.

Mr. Moh. Yamin sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut terkejut atas pernyataan ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah, berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang berseberangan sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak dapat menahan kebencian- nya kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat dihilangkannya. Akibat dari pidato ayah, bahwa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr. Moh. Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu Soekarno.

Penulis masih ingat ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari. Ulama sekampung dengan kampung kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim di Kota Bandung Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya kepada ayah; "Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?"

Ayah menjawab, "Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya."

Bertahun-tahun setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa. Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah mengetahuinya dari berita koran dan radio. Ayah menerima telepon dari Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu. Menteri ini ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan perihal sakit Mr. Moh. Yamin.

Chaerul Saleh datang menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno ini menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin.

"Buya, saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau  sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
"Apa pesannya?" tanya ayah.

"Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat."

Ayah agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu.  Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.

"Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak Yamin itu.

"Begini Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. "

Hanya sebentar ayah termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu.  "Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau."

Sore itu juga ayah dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, banyak pengunjung. Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain. Pak Yamin terbaring di tempat tidur dengan slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat kedatangan ayah tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Pak Yamin menggapai ayah untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk ayah duduk di dekat tempat tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membenci ayah.

Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi datang." Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.

"Dampingi saya," bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.

Mula-mula ayah membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah. Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah mengulang kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak Yamin mengikuti, hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan genggaman tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat "tiada Tuhan selain Allah" ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa genggaman Pak Yamin mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.

Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.

"Innalillahi wa inna lillaihi rajiun."

Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci ayah, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan ayah.

Dari rumah sakit ayah diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam III (Wakil Perdana Menteri III) ini ingin melapor atas wafatnya Pak Yamin kepada Presiden Soekarno. Pemerintah telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta.

Karena wasiat terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawah Lunto. Presiden memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan upacara kenegaraan.

Sebelum meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap: "Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang wafatnya dan bersedia mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan  pemerintah saya ucapkan terima kasih."

(Ini adalah pertemuan terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2 tahun kemudian ayah dicebloskan ke penjara atas perintah Soekarno).

Keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar ayah bersedia menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera Barat dikabulkan ayah.

Proses pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya bapak Menteri Chaerul Saleh. Siang itu juga ayah kembali ke Jakarta.

(Cerita dengan Pak Yamin ini penulis mendengar dari ayah sendiri dan terakhir dari saudara Syakir Rasyid putra Buya St. Mansur yang ikut mendengar Iaporan ayah kepada guru beliau A.R. St. Mansyur sepulang dari Talawi di rumah Buya St. Mansyur).

Pesan Terakhir Soekarno


Dua tahun 4 bulan Iamanya ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno, waktu itu dari tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.

Betapa beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa Iagi memenuhi undangan untuk berdawah. Pemasukan uang terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai menjual barang dan perhiasan.

Ayah baru bebas setelah rezim Soekarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.

Tanggal 16 Juni 1970, ayah dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama. Pagi-pagi sekjen ini datang ke rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden Soekarno untuk ayah. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, begini pesannya; “Bila aku mati kelak. minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku."

“Jadi beliau sudah wafat?" Ayah bertanya ke Pak Kafrawi.

"Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah di bawah ke Wisma Yaso." (Ini versi pertama).

Ada satu versi lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat mantan Presiden RI ini menyampaikan pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang ajalnya, beliau ingin yang menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan oleh Hamka. Pesan itu disampaikan oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikan beliau sebagai Presiden RI ke-2.

Presiden Soeharto mengutus salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo menemui Buya Hamka di rumah JI. Rd.Fatah, didampingi seorang sekjen Dep. Agama RI. Kepada ayah utusan Presiden Soeharto itu menyampaikan permintaan terakhir Soekano. Tanpa ragu pesan yang dibawa utusan Presiden Soeharto dilaksanakan oleh ayah.

Ayah tiba di Wisma Yaso bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banvak pelayat berdatangan, penjagaan pun sangat kuat. Shalat jenazah baru akan dimulai menunggu kehadiran ayah. Ayah dengan mantap menjadi imam jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden Pertama dengan ikhlas dijalankan oleh ayah.

Aku sangat menyesal tidak bisa mengikuti peristiwa ayah dijemput untuk mengimami sholat jenazah mantan Presiden Soekarno dari dekat karena berada di luar kota Jakarta. Dalam menyiapkan buku ini menyangkut pesan terakhir Soekarno aku harus mencari inrormasi. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu banyak yang sudah meninggal dunia termasuk almarhum abangku H. Zaky Hamka yang ikut menemani ayah ke Wisma Yaso.

Hubungan antara ayah dan Bung Karno telah terjalin sejak tahun 1941. Selesai menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941, atas ajakan H. Abdul Karim (Oei Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah Bengkulu seorang Tokoh Cina Muslim, menemui Soekano di tempat pengasingannya di Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2 jam itu hubungan keduanya jadi akrab. Untuk kenang-kenangan mereka berfoto bersama.

Tahun 1946 setelah kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI pertama, Presiden mengajak ayah untuk pindah dari Medan ke Jakarta. Namun karena situasi tanah air yang belum selesai urusannya dengan Belanda, terjadi aksi polisionil pertama tahun 1947 permintaan Presiden tertunda. Pada tahun berikutnya 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat. Kembali ayah bertemu dengan Soekarno di Bukit Tinggi. Pada kesempatan itu ayah menghadiahkan sebuah puisi kepada Presiden Pertama itu dengan judul "Sansai juga aku kesudahannya.”

Setelah penyerahan Kedaulatan 1949, di awal 1950 ayah mengajak kami pindah ke Jakarta. Pada peringatan Isra' Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, ayah diminta Presiden Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra' Miraj di Istana. Hubungan baik terus berlanjut. Sewaktu pelaksanaan shalat ldul Fitri tahun 1951 diadakan di Lapangan Banteng yang diselenggarakan oleh PHBI (Panitia Hari Besar Islam) Jakarta aku turut diajak ayah, ayah duduk berdampingan dengan Presiden kita waktu itu. Aku duduk diapit ayah dan Soekarno. Aku sangat bahagia karena aku diperkenalkan ayah ke Soekarno.

Aku bersalaman dengan Presiden kita yang gagah itu. Kulit wajah beliau putih kemerah-merahan, segar. Tatapan matanya kuat ketika bersalaman denganku. Usiaku ketika itu 8 tahun. Bila aku ingat kejadian itu, aku sering tersenyum sendiri karena Presiden kita itu memakai kaus kaki yang robek di ujung sebelah kanan. Sambil mengikuti takbir Presiden RI Pertama itu tampak asyik mengelus-elus jempol kakinya yang tersembul dari robekan kaos kaki kanannya.

Tahun 1955 ayah terpilih menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan akrab dengan Soekarno mulai renggang. Ayah dengan segenap fraksi Partai Islam memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Sedangkan Presiden Soekarno ingin mempertahankan negara berdasarkan Pancasila. Sejak itu hubungan dua orang yang sebelumnya seperti bersaudara terputus. Baru tahun 1962 mereka bertemu kembali ketika ayah turut menyelenggarakan jenazah Mr. Moh. Yamin. Dua tahun kemudian ayah ditangkap atas perintah Presiden Soekarno.

Setelah 8 tahun kemudian 1970, kedua orang yang dulu-nya bersahabat dipertemukan kembali, hanya situasinya berbeda. Soekarno berada dalam peti jenazah, ayah berdiri di dekat peti jenazah itu bertindak sebagai imam sembahyang jenazah orang yang pernah menjebloskan diri beliau masuk penjara selama 2 tahun 4 bulan. Tampak benar bagi penulis, walaupun keadaan dua orang ini berbeda paham politik yang tajam, namun dalam hati mereka tetap menjaga tali silaturahmi. Soekarno tidak membenci ayah. Begitu pula ayah pun tidak dendam kepada Soekarno.

Akibat ayah mengimami jenazah Soekarno, teman-teman ayah banyak yang menyesalkan tindakan ayah itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu munafiq. Ada pula yang bertanya: "Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan Buya dalam penjara?"

Dengan lemah lembut ayah menjawab semua kritik itu. "Hanva Allah yang lebih tahu orang-orang yang munafiq Dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu hal lagi jangan dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan 2 buah masjid yang monumental, satu masjid Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”

Pesan Pramudya Ananta Tur


Awal tahun 1963, dunia sastra kita digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman pertama dengan berita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya Ananta Tur.

Berbulan-bulan lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi.

Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudva Ananta Tur itu.

Penulis waktu itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis.

PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu.

Suatu hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.

Hanya sebentar ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada ayah.

Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.

Salah seorang teman Pramudva bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjawab:

"Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama yang terbaik."

Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknva Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu.

Dalam peristiwa ayah menghadapi ketiga tokoh yang penulis sampaikan dalam buku ini, penulis sengaja tidak memberikan komentar dan menilai ayahku Hamka. Penulis mernbebaskan kepada pernbaca yang budiman menilainya sendiri. Penulis sebagai seorang anak ingin menghindar penilaian kepada ayah secara subyektif. [Sandhi/voa-islam.com]