BLOG IKI

BLOG KULAWARGA PUTRA-WAYAH SAKA SAWARGI MBAH MARWAH LAN MBAH BINEM NGARENGAN KIDUL, PLOSOREJO, KEDUNGGALAR, NGAWI, JAWA TIMUR.

Jumat, 04 November 2011

PERTOLONGAN PERTAMA SAKIT KARENA KENA BENDA BERKARAT



Paku atau duri mudah sekali menusuk kaki orang2 yang terbiasa berjalan-jalan di jalan-jalan kampung. Tidak sedikit karena tertusuk duri atau paku berkarat berakibat sangat fatal, bahkan ada yang sampai meninggal setelah menderita sakit beberapa hari. Biasanya jenis duri atau paku atau benda lainnya yang mengenai tubuh manusia (ini yang berbahaya lho), mengakibatkan yang terkena meriang, demam tinggi dan kejang-kejang dan kalau sudah begini yaaaa sangat berbahaya.
Ada pengalaman kerabat sendiri meninggal dunia setelah kakinya kena paku, setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo kurang dari sepekan, meninggallah dia. Gejala sakitnya, ya seperti diceritakan tadi, siang kena paku sorenya meriang, esok harinya mulai panas, akhirnya gak sadarkan diri, kejang lalu meninggal.
Kata orang, paku atau logam yang berkarat sangat memungkinkan siapapun yang terkena akan sakit seperti tersebut di atas. Demikian juga halnya dengan duri, kayu atau yang lain yang sudah kotor (terendam dalam lumpur atau berbaur dengan sampah dsb). Juga ada cerita, ada seorang meninggal dunia setelah sepekan sebelumnya kakinya tertusuk bamboo, bekas tusuk sate, gejalanyapun ya seperti tadi.
Memang, tidak semua paku atau benda sejenis bisa mengakibatkan sakit atau bahkan sampai meninggal seperti tersebut di atas, namun untuk membedakan jenis yang berbahaya atau tidak ini yang teramat sulit. Maka tidak terlalu salahlah bila kita berhati-hati agar terhindar dari terkena benda-benda semacam itu. Namun, bila “terpaksa” harus kena, di bawah ini ada beberapa pengalaman yang mungkin ada manfaatnya untuk diketahui atau diterapkan sebagai langkah pertama bila terpaksa harus berurusan dengan benda-benda seperti itu.
1.       Pada tahun 1979, mBah Binem (mbok saya), pada saat itu akan belanja ke Pasar Kedunggalar untuk keperluan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Kondisi pasar tradisional pada jaman itu tidak seperti keadaan sekarang, lorong-lorongnya masih banyak yang becek dan berlumpur-lumpur. Ditambah pengunjung pasar pada waktu itu cukup ramai sehingga tidak jarang orang yang berjalan di lorong-lorong pasar sampai berdesak-desakan, dan tidak jarang ada yang sampai terpeleset jatuh terdorong orang lain, sehingga masuk ke dalam kubangan lumpur.

Demikianlah yang dialami mBah Binem, dia terdorong dan kakinya terpeleset masuk ke dalam lumpur. Tanpa diketahui, ternyata telapak kakinya tertusuk bekas ruji sepeda yang kotor dan berkarat, sehingga tembus sampai atas. Namun demikian, kecelakaan kecil itu segera teratasi dengan bantuan seseorang ruji berkarat itu dicabut dan lukanya dibebat dengan sobekan kain. Selesai.

Tetapi di sore harinya, yaitu sehabis minum berbuka puasa, mBah Binem merasakan badannya meriang dan kakinya mulai membengkak diapun tidak mau makan. Melihat hal seperti ini, mBah Marwah, (suami mbah Binem atau Bapak saya) jadi was-was. Dia teringat kejadian yang dialami putera keduanya yang meninggal dunia pada tahun 1977 (2 Mei 1977) di RSCM Jakarta akibat terkena paku. Namun beliau tidak lantas kehilangan akal, beliau ingat “resep” leluhur yang agak nyleneh, maka resep itu segera diterapkan.

Mula-mula beliau mengambil kawur (kapur bangunan) beberapa genggam ditaruh di dalam kuwali dan diberi air, juga di dalam kuwali itu ditaruh satu batu bata merah yang sudah dibersihkan, setelah kuwali itu ditaruh di atas tungku, mBah Binem disuruh memasukkan kakinya yang bengkak ke dalam kuwali dan menginjak batu bata tadi (direndam) dan disuruh diam (tidak boleh digerakkan). Lalu api mulai dihidupkan. Aneh!, kaki yang direbus di dalam kuwali itu tidak merasa panas atau sakit (kecuali kalau sekali-kali tanpa sengaja bergerak), walaupun air mulai mendidih. Setelah air mendidih, api dimatikan, setelah air mulai mendingin baru kaki mbah Binem diangkat. Luar Biasa, demamnya hilang dan kaki yang tadi membengkak sudah sembuh.

2.       Pada tahun 1981, Bulan dan tanggalnya lupa, hanya harinya saya ingat, yaitu hari Jum’at. Pada waktu itu, saya berjalan kaki menuju Masjid untuk Shalat Jum’at. Di tengah jalan, di tepi sungai, di bawah rumpun bambu, kaki saya tersangkut ranting lamtoro yang patah, sehingga kaki saya lecet sedikit. Dan itupun tidak menimbulkan rasa sakit yang berarti, sehingga perjalanan ke Masjidpun tidak terganggu sama sekali.

Sore harinya, sehabis shalat Maghrib datanglah teman saya yang mengajak silaturrahim ke tempat saudara yang jaraknya lebih kurang setengah Kilometer dari rumah. Maka kamipun jalan kaki saja. Setelah berbincang agak lama, kamipun pulang. Di tengah jalan, kaki saya terasa kaku dan badan terasa meriang, panas dingin. Namun, sama sekali tidak saya rasakan, karena saya mengira itu adalah gejala flu biasa. Dan sesampainya di rumah sayapun segera menunaikan shalat Isyak. Tetapi baru saja shalat dapat dua rakaat, di rakaat ketiga saya tak mampu mengangkat badan untuk berdiri, sehingga sayapun menyelesaikan shalat hanya dengan duduk. Pada saat itu, badan rasanya sakit dan pegal-pegal luar biasa, lebih-lebih kaki yang tadi tersenggol ranting lam toro, dan tak lama kemudian rahang mulai sulit digerakkan.

Untunglah, pada saat itu Simbok saya (mBah Binem) mengetahuinya. Ketika saya ditanya sebab-sebabnya, saya hanya mampu member isyarat bahwa lecet di kaki saya teramat sakit. Maka Siembokpun segera bertindak, setelah kaki saya dibersihkan dengan air hangat, dia mengambil tangkai daun sirih yang agak besar, dipipihkannya bagian yang diujung. Lalu dicelupkan di minyak goring, setelah itu lalu dibakar di lampu senthir (ublik), ketika ujung gagang sirih mulai panas (minyaknya mendidih kan?) ditaruhnya barang panas itu ke luka lecet bekas sangkutan ranting lam-toro tadi. Berkali-kali hal itu dilakukan berulang-ulang. Dan berkat pertolongan Tuhan, rasa meriang dari sedikit mulai berkurang dan akhirnya hilang dan rahangpun kembali normal, pegal-pegal di badan juga hilang. Malam itu saya bisa tidur nyenyak. Pagi harinya kembali diulang, beberapa kali, sorenya juga. Maka Alhamdulillah sayapun sembuh.

Demikian pengalam hidup sederhana ini mungkin ada manfaatnya ditulis dan diceritakan di sini. Semoga.