Jiwa Besar Buya Hamka Terhadap Lawan Politiknya
Pesan Terakhir Mr. Moh. Yamin dan Soekarno Menjelang Ajal serta Pesan Penting Pramudya Ananta Tur
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).
Rangkaian
tulisan berikut adalah penggalan dari perjalanan hidup Prof. KH. Abdul
Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka yang dikisahkan oleh putra kelima
beliau, yakni KH. Irfan Hamka di dalam bukunya Kisah-Kisah Abadi Bersama
Ayahku Hamka.1
Penggalan
ini berkisah tentang kebesaran jiwa dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada
lawan-lawan politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan
komunis yang diwakili para tokohnya yakni pencetus penggali Pancasila
Mr. Moh.Yamin dan Soekarno serta tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Pramudya Ananta Tur; padahal tak jarang demi mempertahankan dan membela
keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk penjara, difitnah,
disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam menghadapi ujian
itu berbuah menjadi hikmah yang luar biasa yang diantaranya terungkap
dalam penggalan kisah berikut ini yang insya Allah dapat membuka mata
hati siapapun yang membacanya, meresapinya dan menghayatinya untuk
menetapi jalan Islam menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat
membaca.
Pesan Terakhir Mr. Mohammad Yamin
Masih
ada lagi bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya ayahku (Buya
Hamka – pen.). Susah kita mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa
sebesar ayahku, Hamka.
Dalam
tulisan yang kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari penilaian yang
subyektif karena aku anak beliau. Kucoba merangkai bagaimana sifat
pemaaf yang begitu ikhlas diberikan ayah kepada orang-orang yang
membencinya. menzalimi dan memfitnah.
Tahun
1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi
Partai Masyumi, ayah cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara
Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945/ dengan dasar negara Pancasila
Untuk
kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front
pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya,
mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI,
Partai Nasional Indonesia ingin negara berdasarkan Pancasila.
Dalam suatu acara persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya menyampaikan isi pidatonya:
"Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka … "
Tentu
saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut
mendengar pernyataan ayah. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga
para pendukung negara Islam sama-sama terkejut.
Mr. Moh.
Yamin sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut
terkejut atas pernyataan ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah,
berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang berseberangan
sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak dapat menahan kebencian- nya
kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan
sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat
dihilangkannya. Akibat dari pidato ayah, bahwa menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr.
Moh. Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu
Soekarno.
Penulis
masih ingat ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari.
Ulama sekampung dengan kampung kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim
di Kota Bandung Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya
kepada ayah; "Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?"
Ayah menjawab, "Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya."
Bertahun-tahun
setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante,
parlemen dan menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara,
terjadi peristiwa yang luar biasa. Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh
sakit parah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah
mengetahuinya dari berita koran dan radio. Ayah menerima telepon dari
Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu. Menteri ini
ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan perihal sakit
Mr. Moh. Yamin.
Chaerul
Saleh datang menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno
ini menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin.
"Buya,
saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah
berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari
Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
"Apa pesannya?" tanya ayah.
"Pak
Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin
menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam
sekarat."
Ayah agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.
"Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak Yamin itu.
"Begini
Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat
dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi.
Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima
jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut
mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali
Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. "
Hanya
sebentar ayah termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah
selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip
dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu. "Kalau begitu mari bawa saya ke
RSPAD menemui beliau."
Sore itu
juga ayah dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP,
banyak pengunjung. Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain.
Pak Yamin terbaring di tempat tidur dengan slang infus dan oksigen
tampak terpasang. Melihat kedatangan ayah tampak wajahnya agak berseri.
Dengan lemah Pak Yamin menggapai ayah untuk mendekat. Salah seorang
pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk ayah duduk di dekat tempat
tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium kening tokoh yang
bertahun-tahun membenci ayah.
Dengan
suara yang hampir tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi
datang." Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
"Dampingi saya," bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.
Mula-mula ayah membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah.
Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah mengulang
kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak
Yamin mengikuti, hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan
genggaman tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat "tiada Tuhan selain Allah"
ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa genggaman Pak Yamin
mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.
Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.
"Innalillahi wa inna lillaihi rajiun."
Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci ayah, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan ayah.
Dari
rumah sakit ayah diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam
III (Wakil Perdana Menteri III) ini ingin melapor atas wafatnya Pak
Yamin kepada Presiden Soekarno. Pemerintah telah mempersiapkan acara
pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta.
Karena
wasiat terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi,
Sawah Lunto. Presiden memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun
Zen untuk mempersiapkan upacara kenegaraan.
Sebelum
meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap:
"Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang
wafatnya dan bersedia mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan
pemerintah saya ucapkan terima kasih."
(Ini
adalah pertemuan terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2 tahun
kemudian ayah dicebloskan ke penjara atas perintah Soekarno).
Keesokan
harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar ayah bersedia
menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera
Barat dikabulkan ayah.
Proses
pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya
bapak Menteri Chaerul Saleh. Siang itu juga ayah kembali ke Jakarta.
(Cerita
dengan Pak Yamin ini penulis mendengar dari ayah sendiri dan terakhir
dari saudara Syakir Rasyid putra Buya St. Mansur yang ikut mendengar
Iaporan ayah kepada guru beliau A.R. St. Mansyur sepulang dari Talawi di
rumah Buya St. Mansyur).
Pesan Terakhir Soekarno
Dua
tahun 4 bulan Iamanya ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno,
waktu itu dari tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang
Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan
Presiden Soekarno.
Betapa
beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku
karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa Iagi memenuhi undangan untuk
berdawah. Pemasukan uang terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai
menjual barang dan perhiasan.
Ayah
baru bebas setelah rezim Soekarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah
kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.
Tanggal
16 Juni 1970, ayah dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama.
Pagi-pagi sekjen ini datang ke rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari
keluarga mantan Presiden Soekarno untuk ayah. Pesan itu pesan terakhir
dari Soekarno, begini pesannya; “Bila aku mati kelak. minta kesediaan
Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku."
“Jadi beliau sudah wafat?" Ayah bertanya ke Pak Kafrawi.
"Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah di bawah ke Wisma Yaso." (Ini versi pertama).
Ada satu
versi lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat mantan Presiden RI
ini menyampaikan pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang
ajalnya, beliau ingin yang menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan
oleh Hamka. Pesan itu disampaikan oleh keluarganya kepada Presiden
Soeharto yang telah menggantikan beliau sebagai Presiden RI ke-2.
Presiden
Soeharto mengutus salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo
menemui Buya Hamka di rumah JI. Rd.Fatah, didampingi seorang sekjen
Dep. Agama RI. Kepada ayah utusan Presiden Soeharto itu menyampaikan
permintaan terakhir Soekano. Tanpa ragu pesan yang dibawa utusan
Presiden Soeharto dilaksanakan oleh ayah.
Ayah
tiba di Wisma Yaso bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banvak
pelayat berdatangan, penjagaan pun sangat kuat. Shalat jenazah baru akan
dimulai menunggu kehadiran ayah. Ayah dengan mantap menjadi imam
jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden Pertama dengan ikhlas
dijalankan oleh ayah.
Aku
sangat menyesal tidak bisa mengikuti peristiwa ayah dijemput untuk
mengimami sholat jenazah mantan Presiden Soekarno dari dekat karena
berada di luar kota Jakarta. Dalam menyiapkan buku ini menyangkut pesan
terakhir Soekarno aku harus mencari inrormasi. Tokoh-tokoh yang terlibat
dalam peristiwa itu banyak yang sudah meninggal dunia termasuk almarhum
abangku H. Zaky Hamka yang ikut menemani ayah ke Wisma Yaso.
Hubungan
antara ayah dan Bung Karno telah terjalin sejak tahun 1941. Selesai
menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941, atas
ajakan H. Abdul Karim (Oei Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah Bengkulu
seorang Tokoh Cina Muslim, menemui Soekano di tempat pengasingannya di
Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2 jam itu hubungan keduanya jadi akrab.
Untuk kenang-kenangan mereka berfoto bersama.
Tahun
1946 setelah kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI
pertama, Presiden mengajak ayah untuk pindah dari Medan ke Jakarta.
Namun karena situasi tanah air yang belum selesai urusannya dengan
Belanda, terjadi aksi polisionil pertama tahun 1947 permintaan Presiden
tertunda. Pada tahun berikutnya 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke
Sumatera Barat. Kembali ayah bertemu dengan Soekarno di Bukit Tinggi.
Pada kesempatan itu ayah menghadiahkan sebuah puisi kepada Presiden
Pertama itu dengan judul "Sansai juga aku kesudahannya.”
Setelah
penyerahan Kedaulatan 1949, di awal 1950 ayah mengajak kami pindah ke
Jakarta. Pada peringatan Isra' Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, ayah
diminta Presiden Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra'
Miraj di Istana. Hubungan baik terus berlanjut. Sewaktu pelaksanaan
shalat ldul Fitri tahun 1951 diadakan di Lapangan Banteng yang
diselenggarakan oleh PHBI (Panitia Hari Besar Islam) Jakarta aku turut
diajak ayah, ayah duduk berdampingan dengan Presiden kita waktu itu. Aku
duduk diapit ayah dan Soekarno. Aku sangat bahagia karena aku
diperkenalkan ayah ke Soekarno.
Aku
bersalaman dengan Presiden kita yang gagah itu. Kulit wajah beliau putih
kemerah-merahan, segar. Tatapan matanya kuat ketika bersalaman
denganku. Usiaku ketika itu 8 tahun. Bila aku ingat kejadian itu, aku
sering tersenyum sendiri karena Presiden kita itu memakai kaus kaki yang
robek di ujung sebelah kanan. Sambil mengikuti takbir Presiden RI
Pertama itu tampak asyik mengelus-elus jempol kakinya yang tersembul
dari robekan kaos kaki kanannya.
Tahun
1955 ayah terpilih menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan
akrab dengan Soekarno mulai renggang. Ayah dengan segenap fraksi Partai
Islam memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Sedangkan Presiden
Soekarno ingin mempertahankan negara berdasarkan Pancasila. Sejak itu
hubungan dua orang yang sebelumnya seperti bersaudara terputus. Baru
tahun 1962 mereka bertemu kembali ketika ayah turut menyelenggarakan
jenazah Mr. Moh. Yamin. Dua tahun kemudian ayah ditangkap atas perintah
Presiden Soekarno.
Setelah 8
tahun kemudian 1970, kedua orang yang dulu-nya bersahabat dipertemukan
kembali, hanya situasinya berbeda. Soekarno berada dalam peti jenazah,
ayah berdiri di dekat peti jenazah itu bertindak sebagai imam sembahyang
jenazah orang yang pernah menjebloskan diri beliau masuk penjara selama
2 tahun 4 bulan. Tampak benar bagi penulis, walaupun keadaan dua orang
ini berbeda paham politik yang tajam, namun dalam hati mereka tetap
menjaga tali silaturahmi. Soekarno tidak membenci ayah. Begitu pula ayah
pun tidak dendam kepada Soekarno.
Akibat
ayah mengimami jenazah Soekarno, teman-teman ayah banyak yang
menyesalkan tindakan ayah itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu
munafiq. Ada pula yang bertanya: "Apa Buya tidak dendam kepada orang
yang telah membenamkan Buya dalam penjara?"
Dengan
lemah lembut ayah menjawab semua kritik itu. "Hanva Allah yang lebih
tahu orang-orang yang munafiq Dan saya harus berterima kasih, karena
dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu
hal lagi jangan dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan 2
buah masjid yang monumental, satu masjid Baiturrahim di Istana Merdeka.
Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini
menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”
Pesan Pramudya Ananta Tur
Awal tahun 1963, dunia sastra kita digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman pertama dengan berita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya Ananta Tur.
Berbulan-bulan
lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan
berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi.
Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudva Ananta Tur itu.
Penulis
waktu itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra
lndonesiaku seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru
civicku dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak
lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu
bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang
lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara
gratis.
PKI
melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam
usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat
kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru
dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru.
Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian
melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh
Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu.
Suatu
hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang
laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan
memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama
Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia
anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani Daniel menemui ayah
untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel
non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah
dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.
Hanya
sebentar ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua
tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya
Ananta Tur langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca
dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan
menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada ayah.
Dalam
pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah
tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah
terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan
nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.
Salah
seorang teman Pramudva bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada
Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka.
Dengan serius Pram menjawab:
"Masalah
faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus
bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon
menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah
seorang ulama yang terbaik."
Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison,
Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknva Pramudya Ananta Tur
dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf
atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.
Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya Ananta Tur
dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam kepada
sang calon menantu.
Dalam peristiwa ayah menghadapi ketiga tokoh yang penulis sampaikan dalam buku ini, penulis sengaja tidak memberikan komentar dan menilai ayahku Hamka. Penulis mernbebaskan kepada pernbaca yang budiman menilainya sendiri. Penulis sebagai seorang anak ingin menghindar penilaian kepada ayah secara subyektif. [Sandhi/voa-islam.com]